Anto Narasoma
*PERSETERUAN YANG BODOH*
*PERSETERUAN pendapat di kalangan kita, seringkali muncul. Bahkan untuk mempertahankan pendapat dari pengaruh persoalan di luar dirinya begitu kuat, hingga muncul ungkapan caci maki dan saling tantang untuk berdebat liar antarsesama kita. Apakah ini jalan terbaik?*
—————————-
Beberapa minggu lalu, terjadi silang pendapat mengenai penetapan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 hijriah antara Muhammadiyah, pemerintah, dan Nahdlatul Ulama.
Dari perkembangan itu, masyarakat tidak bereaksi, karena hal-hal demikian sudah biasa terjadi. Namun di antara kedua anggota grup yang bersitegang, begitu _keukeuh_ menjelaskan pendapat dan alasan-alasan yang dikemukakan. Lantas siapa yang menang di antara keduanya?
Meski keduanya mengungkapkan secara strategi ilmiah dan bersikap faktual, namum pada ujungnya situasi itu akan berakhir dengan sikap saling membenci dan membuka ruang permusuhan.
Menghadapi masalah itu, apakah kita akan bertahan dengan pendapat yang tak menguntungkan kualitas finansial?
Sebenanrnya, ketika kita saling tegang dan berkukuh dengan pendapat yang kita kuasai, sesuangguhnya kita tengah berhadapan dengan musuh paling besar.
Pertanyaannya, siapa musuh terbesar kita? Apakah musuh paling berbahaya itu lawan dialog kita?
Andaikan cara berpikir kita berada pada format paling bijak dan cerdas, maka kita akan langsung tanggap bahwa musuh berbahaya itu adalah diri kita sendiri.
Karena kondisi kita berada pada level emosi tinggi, maka akal sehat kita tersingkir dari ruang perdebatan yang tak menguntungkan tersebut.
Akibatnya, secara psikis, ungkapan yang kita kemukakan itu telah mengurangi kadar kebijakan yang membuat kita jadi tersinggung.
Dalam kondisi ini, emosi akan membakar habis akal sehat kita untuk meraih “keunggulan” di atas pertentangan pendapat keduanya.
Dari lingkaran pertentangan pendapat yang saling sikut itu, kita menjadi inadvisable. Dengan kata lain, kita mulai menjauh dari sikap bijak yang ada di dalam diri kita.
Inadvisable (sikap bijak) menjadi raib, dan muncul sikap beringas, dan saling tantang untuk mengungkap argumentasi dengan emosi kemarahan tak sehat. Salahkah ini?
Menurut George Bernard Shaw, hidup bukan untuk menemuka jati diri, tapi hidup itu untuk menciptakan jari diri ( *Life isn’t about finding yourself. Life is about creating yourself*). Itu artinya, setiap apa yang kita kemukakan dari tiap masalah akan munculkan jati diri kita sebagai manusia.
Karena itu, ketika kita berada dalam satu debat, tatkala yang kita rasakan tak sejalan, bahkan kita anggap pendapat orang kurang mengena pada sasaran yang kita harapkan, lebih baik hentikan saja.
Jika kita teruskan, maka emosi yang sudah menantikan sejak awal perdebatan akan melahirkan api kemarahan. Keadaan inilah yang akhirnya akan melahirkan pertentangan keras dan bisa memutuskan tali silaturahim antarsesama kita.
Posisi ini sangat buruk dan tidak akn menghadirkan kekuatan persaudaraan kita. Karena itu sebelum kita terjerat ke ranah perdebatan tak menguntungkan, sebaiknya kita kelola emosi yang sejak awal mulai memercikkan api kemarahan dan kebencian.
Dalam persoalan ini kita harus hati-hati menghadapi diri sendiri. Karena yang akan memusuhi dirimu bukan lawan debat kita, tapi diri kita sendiri.
Yang paling bijak menelaah hidup ini tidak hanya mengungkapkan pendapat yang tetap, tapi bagimana lawan debat kita itu menerima pendapat kita secara signifikan. Sebab kita menyatakan itu cara yang tidak melecehkan pendapat lawan debat kita.
Sikap arif seperti ini akan bisa memosisikan diri kita ke dalam catatannya. Sebab, pada hakikatnya tidak ada lawan debat yang senang jika pendapat mereka kita lecehkan.
Padahal kita sadar sepenuhnya bahwa pendapat dia tidak memenuhi standar faktual dalam keilmuan.
Seperti diungkap Dr Satrio Arisnunandar, secara psikis, tiap orang akan mempertahankan argumentasinya dalam satu form pendapat.
Karena rangkaian keilmuan yang dimilikinya akan ia gunakan sepenuhnya dalam satu perdebatan sehat. Dari sisi ini, kata Satrio, unsur pengetahuan dari rangkaian yang ada akan ia kemukakan sesuai paradigma yang dihadapi.
Apabila tak pandai menerima argumentasi lawan yang tak sesuai pola pikir kita, maka emosi akan merusak perdebatan itu.
Sebagai manusia, kita dituntut untuk lebih arif menelaah kepribadian diri sendiri, sehingga ketika menghadapi perdebatan sengit, sikap bijak sebagai manusia sejati akan menyelamatkan diri kita dari kekalahan moral menghadapi diri sendiri.
Jadi, dalam debat mempertahankan pendapat, sesengguhnya kita menghadapi dua rival yang harus dihadapi.
Rival pertama adalah lawan debat di luar diri kita, sedangkan rival kedua adalah menghadapi diri kita sendiri secara psikologis.
Jika kita emosian, maka kita akan jatuh. Sebab secara psikis posisi kita terjerembab ke dalam kesia-siaan yang memojokkan intelektual kita sebagai manusia yang *inexpedient*. (*)
*Palembang*
23 April 2023
(Penulis adalah sastrawan dan wartawan)