PALEMBANG|DutaExpose.com- Siang itu, suasana jalan di *Sentra Kuliner Pempek Sekanak 27 Ilir* lengang seperti komplek pemakaman. Suasananya sepi dan hanya sesekali kendaraan roda dua melewati kawasan itu.
Padahal, kawasan kuliner pempek ini, sebelum melapetaka covid-19 melanda masyarakat, suasananya begitu hidup.
Di kiri kanan jalan terdapat beberapa warung pempek yang begitu ramai dikunjungi pembeli.
Tak bisa diprediksi ketika itu, siapa di antara warung pedagang pempek yang dinilai paling ramai dikunjungi pembeli. Semua pedagang tersenyum menggali keuntungan.
Kondisi kawasan *Sentra Pempek Sekanak 27 Ilir* empat tahun lalu, bisa dikatakan mampu mengangkat nilai-nilai wisata *Kota Tua* di kawasan itu.
Sekarang, kita bisa menakar sejauh apa potensi wisata kuliner pempek di kawasan itu. Ibarat kampung mati yang jarang dikewati pengunjung.
Saat media ini mendatangi kawasan itu, ada perasaan sedih yang berkecamuk di dada. Sebab setelah berjam-jam memperhatikan kalau ada pembeli yang datang, namun semua itu tidak terjadi. Sepi dan sia-sia.
Akibat dari sepinya suasana penjualan makanan khas tradisi masyarakat Palembang di kawasan itu, beberapa warung pempek yang ada di sana harus tutup. Sebab banyak pedagang yang mengalami kerugian.
Sekarang hanya ada dua warung pempek yang masih bertahan hidup. Itulah *Warung Pempek Udin* dan warung yang ada di sebelahnya.
Menurut Wiwien –pedagang Pempek Udin– suasana sepi yang melanda di sentra kuliner pempek Sekanak 27 Ilir, terjadi sejak covid-19 lalu.
“Suasana di sini sudah mulai sepi. Bahkan omset penjualan yang tadinya lancar, harus anjlok ke posisi terendah,” ujar Wiwien dengan mimik sedih, saat diwawancarai media ini, Jumat (9/6/2023).
Sebagai pedagang makanan khas Palembang tersebut, Wiwien tak mampu untuk mengomentari anjloknya jumlah omset penjualan yang ia rasakan. “Sedih, Mas,” katanya.
Akibat dari keadaan yang tidak kondusif seperti itu, satu-satu warung yang ada di sana harus tutup. Terutama pedagang yang menyewa tempat di sana. Karena harus membayar petak sewanya, mau tak mau mereka harus menaikkan harga pempek yang mereka jual.
Apakah itu jalan terbaik?
” Tidak,” ujar Wiwien. Justru dengan kebijakan menaikkan harga jual pempek, lambat laun kondisi perdagangan pempek di kawasan itu menurun tajam. “Kondisi ini sangat menyengsarakan kita,” katanya.
Dari tinjauan media ini selama dua hari, keadaan penjualan pempek di sana benar-benar memprihatinkan. Terutama ketika saya berjam-jam _nyanggong_ di sana, belum ada satu pembeli pun datang ke warung pempek Udin.
Apakah harus dibiarkan kondisi mereka dalam suasana seperti itu? Tampaknya ini pertanyaan klise.
Harusnya, sebagai “Bapak Angkat” , Bank SumselBabel berusaha mencari celah agar diperoleh jalan keluarnya.
Satu trik cantik yang perlu dilakukan adalah mendatangkan pembeli ke sana. Misalnya, ketika ada tamu dari luar, Bank SumselBabel bisa mengajaknya makan minum di daerah itu.
Padahal, di warung pempek Udin, selain ada pempek, tekwan, dan penganan model, di sana disediakan pula serikaya khas Palembang, kue-kue khas daerah ini, serta makanan lain yang tak kalah nikmatnya dibanding dagangan utama pempek.
Memang, dalam kondisi seperti itu, kita tidak boleh membiarkan suasananya menjadi mati, sehingga para pedagang pempek di kawasan Sekanak harus gulung tukar karena perputaran ekonomi mereka harus terhenti.
Selain itu, Dinas Pariwisata Kota Palembang harus berusaha mencari celah agar susana daerah itu bisa hidup kembali seperti semula
Sebab, bagi pedagang kecil seperti pemilik Warung Pempek Udin, tak ada yang lebih membahagiakan bagi mereka adalah mengembalikan suasana penjualan menjadi seperti sediakala. Ini yang perlu kita perhatikan. (*)
Reporter: Anto Narasoma